Sabtu, 23 Oktober 2010

Bisnis Wrapping

Bisnis pembungkusan kado alias wrapping, kalau dikembangkan secara serius, ternyata mampu menjadi ladang bisnis menggiurkan. Lihat saja Grow Gift Shop (GGS) di dekat kampus Institut Tekonologi Bandung, tepatnya di Jalan Pagar Gunung, Bandung. Toko kado seluas 300-an m2 ini tak pernah sepi pelanggan. Bahkan, saat Natal, Lebaran dan Tahun Baru pengunjung yang membludak bisa memacetkan kawasan di sekitar jalanan tersebut.
Diakui Stefanie Kurniadi, Direktur Strategic Planning CreasionBrand, GGS menjadi top of mind di kalangan anak muda. “Karena fokus menggarap pasar remaja.” katanya. Menurutnya, di Bandung ada dua pemain yang kuat di kategori toko kado. Selain GGS, ada Celebrate. Pengakuan senada disampaikan Pery Tristianto, raja factory outlet yang belakangan merambah bisnis resto dan tempat wisata. “Ada dua nama pebisnis gift shop yang terkenal di Kota Kembang ini, Grow Gift Shop dan Celebrate Gift Shop,” ujar Perry. Menurutnya, para pengelola bisnis toko pernak-pernik hadiah ini biasanya orang-orang muda yang sudah memiliki komunitas sendiri. Mereka memang hobi membeli pernak-pernik hadiah untuk kawan-kawannya. “Bisnis yang mereka geluti biasanya adalah sesuatu yang menjadi hobi mereka. Bisnis ini cukup eksis di Bandung,” katanya.
Ya, bermula dari hobi, GGS dibesut Billy Chandra bersama adik iparnya, Victor Yoramsa, pada 30 Juni 2000. Billy yang gemar memberikan hadiah dan bingkisan bagi teman-temannya terinspirasi membangun usaha wrapping. “Dulu saya, kalau mau kasih kado buat teman, membungkusnya ke toko buku,” ungkap Billy mengenang. Apalagi, sejak SMA, mereka berdua sudah senang berjualan boneka meski temporer dan kecil-kecilan. Dengan modal Rp 150 juta, Billy pun menjalankan debutnya sebagai entrepreneur. Ia tak pernah tergelitik untuk memanfaatkan ijazah sarjana teknik industri dari Universitas Parahyangan, Bandung, untuk mencari kerja. Langkahnya sudah mantap. Ia mengalokasikan modal tersebut untuk sewa tempat dan membeli pengadaan barang.
Dituturkan Billy, ketika itu belum ada toko khusus wrapping. “Kalaupun ada tempat wrapping, baru toko buku yang menawarkan jasa bungkus kado ini,” katanya. Bersama Victor, ia terjun langsung melayani pelanggan dibantu tiga karyawan plus kasir. Enam bulan pertama, GGS menggaungkan kehadirannya melalui radio dan koran setempat, plus promosi getok tular dari pelanggan yang berkunjung ke GGS. GGS yang membawa tren baru pun cepat menyebar, terutama di kalangan remaja. Dalam perjalanannya, toko kado ini disukai semua orang lintas-usia. Bahkan, GGS melayani wrapping untuk seserahan orang kawinan. Dan, tak sedikit perusahaan, antara lain PT Telkom Indonesia dan BCA, menjadi pelanggannya untuk event-event promo. “Penjualan bisa meningkat tiga kali lipat pada momen-momen Valentine,” tuturnya.
Periode 2002-05 merupakan puncak pertumbuhan terbaik GGS. “Tumbuh sangat cepat,” kata Billy. Sukses dengan gerai pertama, mereka mengepakkan sayap GGS ke Istana Plaza, Point Samudera sampai Bandung Indah Plaza yang dulu sempat menolaknya — semuanya di Bandung. Jumlah karyawan pun sudah mencapai 50-an orang. Saat ini dengan 7 gerai termasuk gerai di Gramedia Bandung yang hanya menawarkan jasa wrapping, GGS membukukan omset Rp 300 juta per bulan.
Billy sangat hati-hati mengembangkan GGS. Ia memastikan dulu bahwa satu gerainya berkembang, baru membuka gerai yang lain. Tahun ini, ia mengembangkan cabang ke luar Bandung dengan pilihan kota Bekasi, persisnya di Mal Metropolitan. Modal investasinya kali ini cukup besar, sekitar Rp 250 juta untuk area sekitar 30 m2. Dan, tak menutup kemungkinan untuk pengembangan ke Jakarta. ”Saya ke Bekasi dulu. Baru nanti merambah Jakarta,” tutur Billy yang mengaku hingga saat ini belum bermitra dengan pihak lain untuk ekspansi gerainya.
Meski saat ini marak toko-toko penjual barang-barang merchandise dan cenderamata seperti boneka, alat sekolah, aksesori dan mainan, Billy tak gentar. “Saya punya passion, apalagi dulu belum ada yang buat konsep seperti ini, jadi senang juga menjalani bisnis ini,” katanya. GGS sejak awal tidak menjual beragam hadiah, tetapi berkonsentrasi pada pasar muda sehingga barang-barang yang ditawarkan juga yang sesuai dengan pasar itu. “Kami juga tak menjual barang-barang fancy seperti aksesori karakter Barby atau Stroberi.”
Berbagai barang hadiah diperolehnya baik dari dalam maupun luar negeri seperti Cina. Namun, boks-boks kado saat ini sudah diproduksi sendiri di Bandung. Sejalan dengan perkembangan bisnis, ia pun mulai mengelola bisnis secara profesional dan modern. “Dulu sangat kekeluargaan, sekarang mengelola serius bisnisnya. Struktur organisasi diperjelas,” ungkap Billy yang menempatkan manajer operasional, manajer toko dan kepala gudang di setiap gerai. Interkoneksi antarcabang pun sudah computerized. Semua data terkirim ke pusat di Pager Gunung, Dago, Bandung. Yang terbilang masih manual di tempat ini mungkin harga banderol yang belum menggunakan sistem barcode untuk kerja yang lebih efisien. “Dalam waktu dekat kami akan gunakan sistem ini,” ujar Billy yang menggaet konsultan pemasaran untuk membangun citra merek.
Menurut Billy, logo dengan warna biru, ungu dan hijau terdiri dari tiga batang pohon yang berjejer dari satu ranting, tumbuh menjadi dua ranting, dari dua ranting tumbuh menjadi tiga dan seterusnya mencerminkan filosofi bisnis GGS yang diyakininya akan terus tumbuh. Agar terus bertahan, tiap hari ia berinovasi dengan melihat tren produk yang digemari pasar muda. GGS juga intens berkampanye melalui selebaran leaflet, banner sampai beriklan di radio dan media online. “Yang terpenting bagi kami, kalau bicara kado, orang akan ingat Grow,” ujar Billy yang terus meremajakan tampilan interior GGS untuk menarik perhatian pengunjung. Sementara untuk meningkatkan keterampilan SDM dalam mengemas kado, ia terus memberi pelatihan kepada karyawan.
GGS ingin memberikan one stop service bagi semua pengunjung yang terkait dengan cenderamata dan wrapping. Nilai tambah yang diingat pelanggan adalah proses wrapping yang ditawarkan dan menjadi identitasnya. Makanya, tak jarang orang yang membawa berbagai hadiah, seperti mobil-mobilan, BlackBerry sampai mobil mewah, datang hanya untuk wrapping. “Kami lakukan training untuk karyawan tentang bagaimana mereka memadukan warna dan kemasannya agar menjadi bagus,” imbuhnya.
Ke depan, Billy akan mengembangkan usahanya dengan pola kemitraan seperti waralaba atau business opportunity. “Untuk satu-dua tahun ini belum karena masih melakukan pembenahan internal. Kalau belum profesional benar, kami belum berani kerja sama dengan pihak lain.”
Di mata Denny Kusnadjaja, pemilik Rumah Bagoes — gift shop yang menjual kerajjinan tangan dari bahan daur ulang –, pemilik GGS fokus membidik pasar dan membuat positioning sebagai toko kado. “Tapi, Rumah Bagoes punya ciri sendiri,” ungkap Denny. Di Bandung, ia mengaku GGS dan Celebrate yang mendominasi pasar gift shop. “Saya gak mau jual boneka karena nanti perang sama Grow. Secara pasar, saya tak mau kompetisi dan secara pribadi saya tak mau merusak identitas Rumah Bagoes,” katanya.(*)
Reportase: Siti Ruslina

sumber: http://swa.co.id/2010/08/kisah-billy-dan-victor-membangun-bisnis-wrapping/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar